Thursday, February 14, 2013

Fasilitas Pendidikan (Sekolah) Pada Masa Kolonial Di Yogyakarta


        Buku adalah jendela dunia. Dunia gelap tanpa membaca. Sepertinya ungkapan-ungkapan tersebut memang benar. Betapa susahnya jika seseorang atau manusia tidak dapat membaca. Dunia terasa gelap, dan bahkan kita serasa hidup tapi tak dapat melihat. Seperti halnya sebuah semboyan surat kabar nasional yaitu baca “kompas” kunci jendela dunia. Yang memang sepertinya dengan membaca sebuah buku kita dapat mengetahui segalanya serta memperluas pandangan kita. Selain itu, ungkapan membaca adalah kunci menuju jendela dunia sering diartikan oleh para penulis sebagai berikut: dengan kita membaca buku maka kita seolah terbang menuju ke dunia baru.
            Dari ungkapan serta kiasan-kiasan yang disebutkan diatas maka betapa pentingnya membaca sebuah buku. Dan jika merujuk kepada ungkapan-ungkapan tersebut maka kita dapat mengartikan buku dengan arti yang luas yaitu membaca sebuah buku sama dengan mengenyam pendidikan. Pendidikan memang merupakan suatu bekal dasar yang harus dimiliki manusia. Tanpa pendidikan manusia bukanlah manusia. Tanpa pendidikan manusia tidak jauh dengan hewan yang hanya mengandalkan naluri bukan otak, pikiran, serta logikanya. Dengan adanya pendidikan diharapkan manusia dapat mengenal siapa dirinya. Selain itu, dengan melalui pendidikan manusia dapat memahami sekitarnya termasuk memahami sesame manusia lainnya. Dengan pendidikan pula manusia diharapkan mampu bertahan hidup atau survive dengan cara yang benar. Dan dengan adanya pendidikan manusia pun diharapkan dapat memimpin umatnya. Apalagi melihat kondisi zaman yang sejatinya selalu berkembang maju kedepan. Maka dari itu, jika tidak dengan pendidikan maka manusia akan binasa termakan oleh zaman.
            Seperti memang telah menjadi unsur pokok dalam kehidupan manusia, pendidikan merupakan hal yang sangat prioritas. Di Indonesia sendiri, pendidikan telah terlihat sejak zaman Hindu Buddha. Yaitu dengan adanya kaum rsi (pertapa). Kaum rsi ini merupakan kaum yang mendapatkan pendidikan dari alam yaitu dengan cara mengasingkan diri mencari ketenangan dan diharapkan dapat memperoleh sesuatu yang dianggapnya sebagai pelajaran hidup. Kum rsi percaya apa yang mereka sebut dengan wangsit atau wahyu merupakan ilmu atau pengetahuan yang diperoleh buah dari pendidikan yang ia lakukan di alam. Lalu pada zaman selanjutnya yaitu ketika memasuki masa islam, pendidikan dilakukan disuatu tempat yang disebut Pesantren. Di pesantren ini manusia mendapat sebuah pelajaran atau pendidikan yang tentunya pendidikan itu berbasis pada agama islam. dengan adanya pendidikan di Pesantren tersebut manusia dapat berbuat atau berperilaku sesuai norma atau tidak melanggar larangan Allah. Dari kedua proses pendidikan yang dipaparkan tersebut maka dapat diambil satu garis lurus yaitu pendidikan yang diberikan lebih cenderung bersifat kebatinan dan menuntun manusia dalam mencari jati diri mereka masing-masing.
            Seiring dengan berkembangnya zaman dan semakin bertambahnya populasi manusia di dunia maka pendidikan untuk memperoleh ketenangan batin dirasa masih belum cukup. Manusia semakin membutuhkan pendidikan yang dapat memberikannya suatu cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang lebih bersifat material atau kebendaan. Semakin berkembangnya pikiran manusia juga menjadi salah satu faktor perlu adanya pendidikan yang dapat dijadikan bekal dalam memperoleh kebutuhan yang bersifat material. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia melakukannya dengan memiliki suatu pekerjaan atau mata pencaharian yang lebih menghasilkan. Adanya mainset atau pola pemikiran seperti ini dimulai ketika masuknya bangsa asing di Nusantara. Terutama pada masa pemerintahan kolonial di Indonesia. Pemerintah kolonial yang mengeksploitasi segala sumber daya yang ada di Nusantara untuk kepentingan mereka merasa perlu adanya pekerja yang berpendidikan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi daya saing yang semakin berat. Maka dari itu, pemerintah kolonial membuat kebijakan mengenai pendidikan agar dapat menciptakan tenaga kerja yang murah dan terlatih.
            Untuk mendapatkan tenaga yang terlatih dan murah, pemerintah kolonial mulai membangun fasilitas-fasilitas pendidikan. Fasilitas-fasilitas yang berkenaan dengan pendidikan tersebut didirikan di berbagai daerah, terutama dikota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Surakarta, dan Yogyakarta. dan berikut yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang fasilitas pendidikan yaitu sekolah yang ada di Yogyakarta. lebih detailnya makalah ini akan membahas tentang jenis-jenis sekolah yang ada di Yogyakarta dilihat dari status serta fungsi dari sekolah itu sendiri.

Fasilitas pendidikan (sekolah) di Yogyakarta
            Sebenarnya pendidikan berupa sekolah telah ada sejak abad ke 15. Dimana semua sekolah yang ada pada waktu itu merupakan sekolah yang berbasis pada agama. Karena memang ini kaitannya dengan pengaruh budaya khatolik yang berkembang pesat dan menjalar di Eropa. Di Nusantara sendiri, sekolah yang berbasis agama tersebut selain sebagai tempat pendidikan lahir juga digunakan sebagai tempat pendidikan batiniah yang kaitannya dengan penyebaran agama Khatolik. Seiring dengan jatuhnya Bangsa Portugis dan Spanyol di Nusantara, maka pada abad ke 17 dan 18 pemertintah VOC pada waktu itu sangat memperketat pengawasan terhadap sekolah-sekolah yang merupakan peninggalan Bangsa Portugis dan Spanyol (http://pasarkreasi.com/pendidikandizamanpenjajahanbelanda.htm). Barulah pada akhir abad ke 18, VOC mengalami kebangkrutan dan seluruh pemerintahan di Hindia Belanda diserahkan langsung kepada pemerintahan kerajaan Belanda. Mulai dari situ, sector pendidikan mendapatkan perhatian yang lebih. Hal inin ditandai dengan dikeluarkannya kebijakan dibidang pendidikan, diantaranya adalah: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu. (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial. (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa. (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. (http://pasarkreasi.com/pendidikandizamanpenjajahanbelanda.htm).
            Di yogyakarta sendiri pendidikan mulai dapat perhatian lebih ketika Mullemeister menjabat sebagai residen (1880-1891). Pada tahun 1879 di Yogyakarta hanya terdapat satu sekolah milik pemerintah dan satu sekolah Partikelir di daerah Paku Alam (Surjomihardjo, 2008: 67). Lalu ditahun 1890, Sultan mendirikan sekolah yang merupakan sebuah pendopo kesultanan. Lalu diberi nama Srimanganti. Srimanganti sendiri diperuntukan untuk anak-anak yang merupakan anak raja atau priyayi. Srimanganti dikenal dengan Eerste Klasse chool Met De Basa Kedaton (sekolah yang diperuntukkan golongan nomor 1, Eerste Klasse). Lalu pada tahun 1898 didirikan pula Tweede Klasse School (sekolah untuk golongan kelas dua) di Margoyasan, Jetis, Ngabean, Pakualaman, dan Gading (Surjomihardjo, 2008: 68-69).
            Setelah tahun 1900, ketika Van Deventer menjabat sebagai gubernur Hindia Belanda menerapkan Politik Etisnya yaitu Edukasi, Irigasi, dan Emigrasi perkembangan pendidikan di Indonesia menjadi lebih progresif. Di yogyakarta, fasilitas pendidikan seperti sekolah semakin bermunculan. Surjomihardjo membagi 2 jenis sekolah yang ada di Yogyakarta, yaitu sekolah pemerintah dan swasta. (Surjomihardjo, 2008). Yang termasuk kedalam sekolah pemerintah yaitu AMS dan HIS. Lalu, terdapat sekolah yang dikelola oleh swasta yaitu Muhammadiyah dan Taman Siswa.
1.      Sekolah Pemerintah (Negeri)
Yang dimaksud sekolah pemerintah yaitu sekolah yang berada langsung dibawah peraturan kolonial Belanda. Baik secara manajemen maupun kurikulumnya. Disini Pemerintah Kolonial memegang kendali secara langsung. Sekolah-sekolah yang termasuk kedalam sekolah Pemerintah adalah HIS (Holland-Inlandsche School) dan AMS (Algemeene Middelbare School).
è HIS (Holland-Inlandsche School)
HIS merupakan sekolah yang jenjangnya setara dengan SD (pada masa kini). HIS merupakan sekolah yang diperuntukkan anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Lama pendidikan di HIS biasanya 7 tahun. Di Yogyakarta sendiri HIS didirikan pada tahun 1915 atas usulan Budi Utomo yang menginginkan adanya kemjuan di bidang kebudayaan dan pendidikan di kalangan Bumi Putera. Memang HIS sendiri diperuntukkan bagi golangan pribumi (Bumi Putera).
HIS negeri yang pertama di Yogyakarta adalah HIS yang berada di Jetis. HIS ini merupakan Sekolah Kelas 1 Negeri (sekarang SMPN 6 Yogyakarta). Lulusan dari HIS dapat melanjutkan kejenjang berikutnya yaitu melanjutkan ke AMS, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), atau Hogere Kweekschool (sekolah guru yang akan mengajar di HIS).
è AMS (Algemeene Middelbare School)
         AMS merupakan sekolah kelanjutan dari HIS. Jika sekarang AMS setara dengan  SMA (Sekolah Menengah Atas). AMS sendiri hanya berada di ibukota-ibukota Provinsi saja seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, dan Surakarta. Banyak para orang tua yang menyekolahkan anaknya di AMS setelah lulus HIS. Harapannya adalah agar anaknya dapat masuk ke Hooge School (Perguruan Tinggi). AMS sendiri dibagi menjadi dua yaitu, AMS afdelling A yaitu AMS yang menekankan pada ilmu sastra dan budaya. lalu berikutnya adalah AMS afdelling B yang menekankan pada pada ilmu alam dan ilmu pasti.
         Di Yogyakarta sendiri AMS telah ada sejak tahun 1918. AMS yang ada di Yogyakarta merupakan AMS afd B yaitu AMS yang lebih menekankan ilmu alam sebagai pedoman pendidikannya. Gedung AMS afd B di YOgyakarta terletak di Kawasan Kota Baru dan sekarang merupakan gedung SMAN 3 Yogyakarta.
2.      Sekolah Swasta
Sekolah swasta disini merupakan sekolah yang dikelola langsung oleh pihak swasta. Yang dikelola disini adalah dalam hal manajemen dan basis mereka. yang termasuk kedalam sekolah swasta adalah sekolah-sekolah Kristen dan Khatolik, Muhammadiyah, serta Taman Siswa. Pada dasarnya, tingkatan pada sekolah swasta sama seperti sekolah pemerintah (negeri), yaitu jenjang dasar (HIS) dan jenjang lanjutan (AMS, MULO).
è Sekolah-sekolah Kristen dan Khatolik.
   Sekolah-sekolah yang berbasis Kristen dan Khatolik cenderung mengajarkan atau mempersiapkan pemuda sebagai missionaris maupun sebagai seorang pastor. Karena memang tujuan mereka selain bergerak di bidang pendidikan, mereka juga memiliki tujuan gunan menyebarkan ajaran Kristen maupun Khatolik. Adapan sekolah-sekolah Kristen di Yogyakarta yaitu ELS FIliaal (MULO) di Gondolayu dan Hooge Holandsche Inlandsch Onderwijs (sekolah pendidikan untuk pembantu penyebaran Injil bagi Bumiputera dan Tionghoa) di Kliten Lor (Surjomihardjo, 2008: 82-83). Selain sekolah yang bercorak Kristen, terdapat pula sekolah yang bercorak Khatolik yaitu berpusat di Kampemenstraat yang terletak di Wirobrajan dan Gowongan. Pada Kampemenstraat terdapat Frobelschool hingga MULO.
è Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan. Muhammadiyah sendiri muncul sebagai reaksi atas semakin berkembang pesatnya sekolah-sekolah yang merupakan sekolah Khatolik maupun Kristen (Surjomihardjo, 2008: 86). Muhammaddiyah didirikan pada 18 November 1912. Dengan ajaran islam yang lebih modernis, Muhammadiyah berkembang dengan pesat. Apalagi didukung oleh seorang figure K.H Ahmad Dahlan yang merupakan seorang nasionalis tetapi agamis. Selain itu, adanya dukungan dari para Abdi Dalem juga memicu berkembangnya Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri juga mendirikan beberapa sekolah dari HIS hingga Hooge School. Salah satu sekolah Muhammadiyah yaitu MULO Muhammdiyah di daerah Bintaran Tengah.
è Taman Siswa
               Setelah 10 tahun berdirinya Muhammadiyah, mulai muncul organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pendidikan. Salah satunya adalah Taman Siswa. Tujuannya berdirinya Taman Siswa sebenarnya sama dengan tujuan Muhammadiyah, yaitu timbul karena adanya reaksi terhadap pengajaran barat yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, bedanya dengan Muhammadiyah yaitu Taman Siswa lebih netral dalam masalah agama.
               Taman Siswa didirikan oleh R.M Suwardi Suryaningrat atau yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Ki Hajar Dewantara. Dan pada tahun 1924, Taman Siswa baru tercatat dalam data statistic pendidikan Yogyakarta, dengan 28 murid dan 17 guru (Surjomihardjo, 2008: 100). Sampai saat ini perguruan Taman Siswa masih dapat dijumpai yaitu didekat daerah Pakualaman.
Kesimpulan
      Di dalam kehidupan manusia, pendidikan memiliki kedudukan yang sangat penting. Tanpa pendidikan manusia tidak memiliki bekal guna menjalani kehidupan. Selain itu tanpa pendidikan manusia tidak memiliki jalan hidup. Pendidikan yang bersifat formal di Indonesia dimulai ketika bangsa Eropa memasuki wilayah nusantara. Pada awalnya, pendidikan dijadikan alat untuk menyebarkan agama Khatolik. Namun, seiring perkembangannya ketika VOC mengambil alih Nusantara pendidikan dijadikan sebagai alat eksploitasi. Pendidikan digunakan untuk menciptakan pekerja yang terlatih dan murah tentunya. Akan tetapi, setelah tahun 1900 ketika Van Deventer mengemukakan Trias Politikanya paradigma tentang pendidikan berubah. Yang tadinya hanya digunakan sebagai tempat untuk menciptakan pekerja yang murah namun terlatih berubah tujuan yaitu untuk peningkatan kualitas SDM di Indonesia. Terbukti memang pada awal abad ke 20 banyak muncul sekolah-sekolah yang memang diperuntukkan bagi kaum Pribumi (Bumiputera).
Tetapi, tampaknya sekolah-sekolah tersebut baru hanya terdapat di ibukota-ibukota provinsi, termasuk di Yogyakarta. sekolah-sekolah tersebut dibagi menjadi dua yaitu sekolah negeri yang dikelola pemerintah, seperti HIS, MULO, Hooge School dan sekolah swasta yang dikelola oleh pihak Swasta seperti sekolah-sekolah Kristen dan Khatolik, Muhammadiyah, dan Taman Siswa. Walaupun demikian, dengan adanya sekolah-sekolah tersebut dapat menciptakan bangsa yang berpendidikan walau latar belakangnya berbeda.
OLEH: GILANG SWARA SUKMA
DAFTAR PUSTAKA
Surjomihardjo, Abdurrachman. 2008. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe Sejarah Sosial 1880-1930. Komunitas Bambu: Depok.
Suharto. 2007. Pendidikan Swasta di Indonesia pada Masa Kolonial Studi Kasus:
Sekolah Pasundan, 1922-1944. UI: Depok.

No comments:

Post a Comment