Wednesday, February 13, 2013

Erong, Wadah Kubur Kayu Toraja Keletakan dan Kaitannya dengan Kepercayaan Masyarakat Toraja

OLEH: GILANG SWARA SUKMA
Pendahuluan
Ketika manusia telah hidup menetap, mereka memanfaatkan segala yang ada di sekitar mereka untuk memenuhi kehidupan. Mereka mulai bercocok tanam dan melakukan domestikasi terhadap hewan maupun tumbuhan yang dirasa dapat mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Keadaan alam yang tidak statis melainkan berubah-ubah setiap saat memancing perkembangan daya pikir manusia. Secara alamiah, jalan pikir manusia berkembang seiring dengan berubahnya alam. Perlahan tapi pasti, mereka mulai mengetahui siklus tentang alam dan apa yang harus dilakukan apabila terjadi perubahan alam. Proses tersebut terjadi secara terus menerus dan berulang-ulang yang memicu berkembangnya pola pikir manusia. Kemudian dengan berkembangnya pola pikir manusia, akhirnya muncul pemikiran bahwa ada kekuatan atau spirit yang mengatur semuanya. Mengatur alam beserta isinya dan mengatur jalan hidup umat manusia itu sendiri.
Dari situlah mereka mulai melakukan ritual-ritual atau upacara-upacara yang berkenaan dengan kekuatan tersebut. Mereka mulai membuat bangunan dan peralatan-peralatan yang berkenaan dengan pemujaan terhadap kekuatan yang mereka anggap lebih tersebut. Mereka mengenalnya dengan roh leluhur atau nenek moyang. Menurut mereka jika bangunan, peralatan-peralatan, serta syarat-syarat yang berkenaan dengan ritual pemujaan tidak dipenuhi, maka yang terjadi adalah munculnya malapetaka atau musibah yang akan menimpa manusia. mulai dari gagal panen, penyakit, sampai kematian. Tradisi yang telah terjadi tersebut dikenal dengan tradisi megalitik.
Tradisi megalitik secara etimologi berasal dari kata mega yang berarti besar dan lithos yang berarti batu (Soejono, 1984:205 dalam Nur, Muhammad, 2008). Namun, pada kenyataannya tradisi megalitik tidak hanya hal-hal yang berkenaan dengan batu besar saja. Menurut F.A. Wagner (1959) megalitik yang selama ini diartikan sebagai batu besar, di beberapa tempat akan membawa konsep yang keliru, objek batu yang lebih kecil dan bahan-bahan dari kayupun harus dimasukkan ke dalam klasifikasi megalitik. Bila benda itu khas dipergunakan untuk tujuan sakral tertentu yakni pemujaan terhadap nenek moyang (Wagner, Fritz A, 1959 dalam Somba, 1999:73). Kemudian R. von Heine Geldern juga menyebutkan dalam penelitiannya terhadap budaya megalitik di Asia Tenggara, mengemukakan suatu pengertian bahwa budaya megalitik selalu berkaitan dengan pemujaan terhadap arwah leluhur (ancestor worship) (Heine Geldern, 1945:149 dalm Nur, Muhammad, 2008).
Selain itu, Akin Duli juga berpendapat bahwa kepercayaan megalitis yaitu suatu kepercayaan yang meyakini adanya pengaruh kuat dari arwah leluhur demi untuk keberhasilan dan kesejahteraan manusia (Akin Duli, 2000:11). Maka dari itu, tradisi megalitik merupakan suatu konsep atau sistem ideologi yang kaitannya dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang yang tentunya membutuhkan peralatan-peralatan ritual sebagai mediator. Dengan kata lain, tradisi megalitik merupakan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup (manusia) dan yang mati (leluhur). Terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:205).
Tradisi megalitik sendiri dimulai ketika masa neolitik (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:206). Dan hingga sekarang di beberapa daerah di Indonesia, kepercayaan megalitik masih terus berlangsung dan bahkan berdampingan dengan agama-agama yang ada seperti islam dan Kristen. Pulau Nias, Nusa Tenggara, dan Tana Toraja merupakan beberapa daerah yang dimana tradisi megalitik masih memperlihatkan kelanjutannya (Soejono, 1975:278-283 dalam Bernadeta, 1999:80).
Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tradisi megalitik masih berlanjut hingga sekarang. Tidak sedikit masyarakat Toraja yang masih menganut kepercayaan terhadap hubungan antara yang hidup dengan yang mati yaitu para leluhur mereka. Banyak tinggalan-tinggalan arkeologis yang merupakan tinggalan tradisi megalitik tersebar di Tana Toraja. Seperti menhir, wadah kubur kayu, dan liang (tempat penguburan). Tinggalan-tinggalan di Tana Toraja sendiri merupakan tinggalan yang unik. Terutama sistem maupun tempat penguburannnya yang berupa tebing yang di lubang dan wadah kubur kayunya yang unik. semuanya tersebar hampir di seluruh wilayah Tana Toraja. Dengan pesebarannya yang merata dan memiliki keunikan tersendiri, kasus-kasus mengenai sistem penguburan, tempat penguburan maupun wadah kuburnya merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji. Kasus-kasus seperti keletakan dari wadah kubur kayu Toraja serta bagaimana kaitannya dengan konsep kepercayaan masyarakat Toraja akan dibahas pada makalah ini.

Wadah Kubur Kayu Toraja (Erong)
Sistem tentang adanya penguburan yang dilakukan pada orang yang telah meninggal sudah lama dikenal di Indonesia. Sistem penguburan yang tertua adalah sistem penguburan yang ditemukan oleh Van Heekeren tahun 1931 dan 1935. Ia menyebutkan sistem penguburan tersebut berasal dari zaman mesolitik. Lalu kemudian berkembang, dan dikenal berbagai macam sistem penguburan. Antaranya adalah sistem penguburan primer (primary burial) dan penguburan sekunder (secondary burial). Soejono sendiri membagi pola penguburan dengan pola I – IV. Pola I disebut dengan penguburan pertama (primary burial), meliputi satu atau dua mayat dengan beberapa sikap. Pola II disebut dengan penguburan kedua (secondary burial) dalam susunan bermacam-macam. Pola III adalah campuran antara pola I dan pola II. Pola IV adalah penguburan menggunakan tempayan (Widianto, dkk 1987:16 dalam Bernadeta, 1999:79).
            Selain itu terdapat juga sistem penguburan dengan menggunakan wadah maupun tanpa wadah. Penguburan tanpa wadah yaitu sistem penguburan dengan meletakan mayat langsung di tempat penguburan, artinya mayat tidak dimasukan ke dalam wadah terlebih dahulu. Lalu, penguburan dengan menggunakan wadah yaitu sistem penguburan dengan memasukan mayat kedalam wadah dahulu sebelum nantinya diletakkan dit tempat penguburan. Sistem penguburan dengan wadah berkembang pesat pada budaya megalitik. Biasanya kuburan dengan menggunakan wadah berupa wadah kubur, yaitu kubur tempayan, kubur bangunan batu, bejana batu, dolmen, dan sarkopagus.
            Di Tana Toraja sendiri juga ditemukan banyak wadah kubur. Namun, uniknya wadah kubur tersebut merupakan wadah kubur yang tidak terbuat dari batu melainkan dari kayu. wadah kubur kayu tersebut menurut Soejono merupakan kelanjutan dari tradisi megalitik, karena selain di Toraja wadah kubur kayu juga ditemukan di daerah lain seperti timur laut Tanimbar dan Babar (Soejono, 1987:1-2 dalam Bernadeta¸ 1999:79).
            Masyarakat Toraja sendiri menyebut wadah kubur ini dengan nama erong. Erong ini merupakan sebuah wadah kubur yang terbuat dari kayu yang sangat kuat. Biasanya kayu yang digunakan pada erong adalah kayu dari pohon nangka. Kayu tersebut diambil bagian isinya (dibuat berongga) sehingga bentuknya menyerupai lesung atau perahu. Yang nantinya ruang yang ada ditengah tersebut digunakan untuk menyimpan jenasah lalu diberi penutup pada bagian atasnya. Wadah kubur kayu Toraja (erong) dapat dikatakan sebagai temuan yang unik. Hal itu dapat dilihat dari bentuk-bentuknya. Bentuk-bentuk yang banyak dijumpai pada erong adalah bentuk perahu, babi, ayam,kuda, ular, dan kerbau. Selain itu, erong juga kaya akan hiasan yang raya. Biasanya erong dihiasi dengan hiasan-hiasan yang berupa ukiran-ukiran pahat dan ukiran tembus. Ukiran-ukiran tersebut bercorak ragam hias khas Toraja yang berupa motif geometris, flora, dan fauna.ukiran-ukiran tersebut biasanya terletak pada badan maupun penutup erong.  



Keletakan Erong dan Kaitannya Dengan Kepercayaan Masyarakat Toraja
            Setiap daerah pasti memiliki sistem kepercayaannya sendiri-sendiri yang menjadi ciri khas dari daerah tersebut, seperti halnya Toraja. Walaupun sudah ada agama seperti Kristen dan islam namun tidak sedikit masyarakat Toraja yang masih memiliki keyakinan asli mereka yang sudah ada sejak dulu. kepercayaan tersebut adalah kepercayaan Aluk Todolo atau Alukta (Azis Said, 2004:27). Dan kepercayaan tersebut tampaknya masih berlangsung hingga sekarang. Dasar dari kepercayaan Aluk Todolo adalah kepercayaan dari arwah leluhur, yaitu kepercayaan yang selalu berdasarkan kepada hubungan antara yang hidup dan mati, terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari orang yang telah mati terhadap keberhasilan dan kesejahteraan orang yang masih hidup. Lalu sebaliknya, keselamatan arwah di alam arwah (alam Puya) ditentukan oleh perlakuan kerabat, sanak keluarga maupun orang-orang yang telah ditinggalkannya. Maka dari itu berdasarkan konsep yang telah dianut tersebut, masyarakat Toraja sangat menghargai orang yang telah meninggal. Bagi masyarakat Toraja orang yang meninggal harus mendapat perlakuan sama seperti layaknya orang yang masih hidup. Ketika seseorang meninggal maka orang tersebut disamakan dengan orang sakit. Layaknya orang yang sakit, jenasah tersebut diletakkan didalam erong serta tinggal di dalam rumah dan diberikan makan-makanan kesukaannya dan benda-benda kesukaannya. Kegiatan tersebut berakhir ketika sudah dilaksanakan upacara penguburan (Rambu Solo’). Setelah dilaksanakan Rambu Solo’ maka jenasah tersebut bisa diletakkan di tempat penguburan.
            Erong sendiri bagi masyarakat Toraja memiliki makna tersendiri. Erong yang merupakan penguburan sekunder merupakan wadah kubur kayu yang digunakan oleh masyarakat yang berasal dari kelas sosial yang tinggi atau bangsawan dan kalangan menengah (tanak bulaan, tanak bassi, tanak karurung). Hal itu dapat dibuktikan dari model dan keletakan dari erong itu sendiri. Untuk kalangan bangsawan dan tokoh adat (Tanak Bulaan) erong tersebut diletakkan di dalam tebing-tebing yang dipahat. Tebing-tebing tersebut merupakntempat penguburan (Liang). Selain dimasukkan didalam Liang, erong juga sering diletakkan dengan cara digantung/disangga dengan bambu pada dinding Liang yang dikenal dengan  Liang Tokek. Semakin sulit dan semakin tinggi tempat erong itu diletakkan maka dapat disimpulkan bahwa orang tersebut merupakan kalangan dari strata sosial yang tinggi. Karena semakin sulit dan tinggi tempatnya maka semakain banyak tenaga manusia yang diperlukan dan ini kaitannya dengan penyediaan binatang kurban untuk tenaga manusia.
            Selain itu, pada kepercayaan Aluk Todolo dikenal dengan adanya 3 dunia. Yaitu dunia atas yang dihuni oleh Puang Matua, unsur kekuatan yang paling tinggi. Dunia tengah yang dihuni Deata-deata, dewa yang ditugaskan untuk menjaga alam beserta isinya termasuk manusia. Lalu dunia bawah yang dijaga oleh Tomembali Puang. maka dari itu, berdasarkan kepercayaan Aluk Todolo mayat yang paling tinggi akan berada dekat dengan Puang Matua. Lalu selain keletakkan yang dapat menggambarkan strata sosial dari “si mati”, ragam hias dan bentuk erong juga dapat menentukan status sosial. Erong yang memiliki ragam hias yang raya pasti berasal dari strata sosial yang tinggi. Dan biasaanya juga memiliki bentuk-bentuk tertentu yang, seperti perahu, kerbau, babi, dan ayam. Secara konseptual, erong merupakan sebuah kendaraan bagi arwah menuju ke alam arwah (Alam Puya).
Konsep tersebut didukung dari bentuk erong yang berupa perahu, kerbau, babi, dan ayam. Karena menurut kosmologi Toraja, hewan seperti kerbau dan babi merupakan kendaraan pengantar arwah (Bernadeta, 1999:82). Erong dianggapsebagai tinggalan megalitik karena kaitannya dengan pemujaan terhadap roh leluhur. Karena perlakuan terhadap orang yang sudah mati (dianggap sebagai roh leluhur) oleh orang Toraja adalah perlakuan yang tidak jauh berbeda dengan memeprlakukan orang yang masih hidup. Mereka memberikan segala yang dibutuhkan oleh arwah untuk mencapai alam Puya termasuk benda-benda dan upacara-upacara yang diunakan sebagai fasilitas bagi si arwah. Dengan anggapan orang yang masih hidup mendapatkan timbal balik berupa rejeki di dunia dan dijauhkan dari malapetaka.

Kesimpulan
             Tradisi megalitik merupakan sebuah konsep kepercayaan tentang pemujaan terhadap roh leluhur. Di beberapa daerah di Indonesia, tradisi megalitik masih berlanjut hingga sekarang. Salah satunya di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Salah satu tinggalannya yang unik adalah berupa wadah kubur kayu. wadah kubur kayu tersebut oleh masyarakat Toraja dikenal dengan nama Erong. Erong merupakan wadah kubur yang terbuat dari kayu yang kuat untuk diletakkan jenasah didalamnya. Biasanya erong dibuat dengan menggunakan kayu nangka. Erong memiliki bentuk yang beragam, yaitu berbentuk perahu, lesung, kerbau, kuda, ular, babi, dan ayam. Erong juga dihiasi oleh beragam hiasan ukiran. Biasanya ukirab tersebut memiliki motif hias khas Toraja, seperti ragam hias geometris, flora, maupun fauna.
            Erong sendiri digunakan sebagai penanda status sosial suatu golongan si mati. Hal ini dapat dilihat dari keletakan erong itu sendiri. Erong biasanya diletakkkan Liang yang merupakan tebing-tebing yang tinggi. Selain itu, ada juga erong yang digantung atau disangga dengan bamboo pada Liang yang dikenal dengan nama Liang Tokek. Melihat keletakan yang seperti itu, kaitannya dengan konsep yang dipercaya oleh masyarakat Toraja itu sendiri. Semakin tinggi dan rumit erong itu diletakkan, dapat dismpulkan bahwa semakin tinggi pula strata sosialnya. Karena kaitannnya dengan penyediaan kurban untuk tenaga manusianya. Selain itu, semakin tinggi erong itu diletakkan maka semakin dekat jenasah dengan Puang Matua, yang merupakan unsur tertinggi pada kepercayaan Toraja dan letaknya di dunia atas. Erong juga dipercaya sebagai kendaraan pengantar para arwah menuju alam Puya (alam arwah). Karena bentuknya yang berupa perahu, babi, kerbau, dan ayam. Hewan babi, ayam, kerbau, dan perahu berdasarkan mitologi Toraja merupakan kendaraan pengantar kea lam Puya.
Wadah kubur kayu (Erong) merupakan tinggalan dari budaya megalitik. Aspek ini terlihat dari fungsi erong yang merupakan media penyembahan terhadap roh leluhur. Karena bagi masyarakat Toraja dengan memperlakukan orang mati (roh leluhur) dengan baik maka akan mendatangkan suatu kebaikan juga bagi orang yang masih hidup dikemudian hari.

Daftar Pustaka
Azis Said, Abdul. 2004. Toraja, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional. Yogyakarta: Ombak.
Djoened Poesponegoro, Marwati; Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1. Jakarta: Balai Pustaka.
Duli, Akin. 2000. Tinjauan Etnoarkeologi Bentuk-Bentuk Penguburan di Tana Toraja, dalam Buletin WalennaE No. 5/III November 2000. Makassar: Balai Arkeologi Makassar.
Somba, Nani. 1999. Sistem Penguburan Wadah Kayu di Sulawesi Selatan, dalam Buletin WalennaE No. 3/II Juli 1999. Makassar: Balai Arkeologi Makassar.
AKW, Bernadeta. 1999. Bentuk-Bentuk Wadah Kubur Kayu di Sulawesi Selatan dan Tenggara, dalam Buletin WalennaE No. 3/II Juli 1999. Makassar: Balai Arkeologi Makassar.
Nur, Muhammad. 2008. Refleksi Sistem Religi Pada Peninggalan Megalitik Di Tana Toraja (Studi Etnoarkeologi).
Hasanuddin. 2010. Arkeologi Toraja, Pola Pesebaran dan Hubungan FungsionalSitus Pemukiman di Tana Toraja. Makassar: Balai Arkeologi Makassar.
Sumalyo, Yulianto. 2001. Kosmologi Dalam Arsitektur Toraja. Makassar: Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra.

No comments:

Post a Comment