Monday, February 11, 2013

Pembantaian Etnis Tionghoa 1740 (sejarah hitam bangsa Indonesia)

OLEH: GILANG SWARA SUKMA

Jika kita membicarakan peristiwa Genocida, maka yang terlintas dipikiran kebanyakan orang adalah peristiwa pembantaian massal yang dilakukan oleh orang Nazi terhadap enam juta etnis Yahudi di Jerman maupun peristiwa pembantaian yang berlangsung di Semenanjung Balkan, tepatnya pembantaian yang dilakukan oleh orang-orang Yugoslavia terhadap etnis muslim di Bosnia-Herzigovenia. Berdasarkan segelintir peristiwa yang disebutkan tadi, dapat diketahui bahwa peristiwa tersebut merupakan pertikaian antar etnis. Di Indonesia sendiri juga pernah terjadi peristiwa Genocida, yaitu peristiwa pembantaian etnis Cina 1740 (Chinezenmoord). Tidak banyak masyarakat yang mengetahui tentang peristiwa tersebut.
            Peristiwa pembantaian tersebut merupakan pertikaian yang bersifat politik. Berbagai sumber mengatakan bahwa peristiwa tersebut disebabkan oleh karena VOC sebagai perusahaan mulai kalah bersaing dalam dunia perdagangan. VOC kalah bersaing dengan EIC usaha dagang milik Inggris yang saat itu bermarkas di India. Lalu, hal itu memunculkan ketakutan akan kebangkrutan yang dialami oleh VOC jika tidak melakukan sebuah manuver. Kebetulan pada saat itu etnis Cina juga sedikit mulai menguasai perdagangan di Nusantara. Hal itu semakin membuat VOC kalang kabut dan mulai membuat aturan-aturan yang dianggap menguntungkan VOC guna mengganjal lawan bisnisnya. Mulai dari melakukan pungutan-pungutan liar terhadap pedagang etnis Cina sampai memberlakukan adanya program “Surat Ijin Tinggal” bagi para pendatang. hal itu bertujuan untuk menertibkan para pendatang yang illegal. Bagi kaum pendatang yang tidak memiliki surat ijin tinggal maka akan didenda dan bahkan dipenjara. Aturan tersebut dibuat oleh VOC pada masa Gubernur Jendral Adrian Valckenier (1737-1741).
            Pada 25 Juli 1740 pemerintah VOC semakin mempertegas aturan tersebut dengan mengeluarkan resolusi yang berisi bahwa penguasa VOC memiliki hak untuk menangkap dan memenjarakan seluruh warga Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal di wilayah Batavia. Semakin ketatnya peraturan dan pungutan liar yang terus terjadi dirasa sangat tidak adil bagi warga Tionghoa yang akhirnya mulai terjadi kerusuhan. Puncaknya terjadi pada 7 Oktober 1740, dimana lebih dari 500 warga Tionghoa dari berbagai penjuru berkumpul untuk melakukan penyerangan ke benteng Batavia setelah sebelumnya menghancurkan pos-pos penjagaan VOC di Jatinegara, Tangerang, dan Tanah Abang secara bersamaan. Namun, para warga Tionghoa tersebut gagal memasuki daerah Benteng VOC karena mereka mendapat hadangan dari tentara VOC. Pada 9 Oktober 740 dibantu dengan pasukan artileri barat VOC melakukan pengejaran terhadap pelaku penyerbuan. Hampir seluruh rumah dan toko digledah dan dibakar, termasuk rumah kapten Tionghoa Nie Hoe Kong yang dianggap sebagai otak kerusuhan.
            Pada malam harinya prajurit VOC masih terus melakukan penyisiran. mereka tak segan-segan untuk membunuh dan memperkosa wanita-wanita Cina jika dirasa tidak kooperatif. Pembantaian pun menjadi sangat sadis ketika para kaum pribimi yang diprovokasi ikut serta dalam oprasi tersebut. mereka dijanjikan mendapat sebesar 2 dukat per kepala etnis Tionghoa yang berhasil dipancung. Pada 10 Oktober 1740 Gubernur Jendral Valckenier memerintahkan agar seluruh warga Tionghoa tidak terkecuali termasuk yang ada di rumah sakit dikumpulkan di depan Stadhuis atau Gedung Balaikota (sekarang Museum Fatahillah) untuk menjalani hukuman gantung. Tercatat 7500 jiwa dibantai pada peristiwa ini.
            Sepertinya diskriminasi yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti sampai disitu, setelah tahun 1740 VOC mengeluarkan kebijakan yang disebut passenstelsel, yakni keharusan bagi setiap orang China untuk mempunyai surat jalan khusus apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat dia tinggal. Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan wijkenstelsel. Peraturan ini melarang orang China untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka membangun "gettho-gettho" berupa pecinan sebagai tempat tinggal. Hal ini dilakukan agar pemerintah VOC mudah melakukan kontrol dan pengawasan terhadap warga Tionghoa.

No comments:

Post a Comment