OLEH: GILANG SWARA SUKMA
Pendahuluan
Ketika manusia telah hidup menetap, mereka
memanfaatkan segala yang ada di sekitar mereka untuk memenuhi kehidupan. Mereka
mulai bercocok tanam dan melakukan domestikasi terhadap hewan maupun tumbuhan
yang dirasa dapat mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Keadaan alam yang
tidak statis melainkan berubah-ubah setiap saat memancing perkembangan daya
pikir manusia. Secara alamiah, jalan pikir manusia berkembang seiring dengan
berubahnya alam. Perlahan tapi pasti, mereka mulai mengetahui siklus tentang
alam dan apa yang harus dilakukan apabila terjadi perubahan alam. Proses
tersebut terjadi secara terus menerus dan berulang-ulang yang memicu
berkembangnya pola pikir manusia. Kemudian dengan berkembangnya pola pikir
manusia, akhirnya muncul pemikiran bahwa ada kekuatan atau spirit yang mengatur
semuanya. Mengatur alam beserta isinya dan mengatur jalan hidup umat manusia
itu sendiri.
Dari situlah mereka mulai melakukan ritual-ritual
atau upacara-upacara yang berkenaan dengan kekuatan tersebut. Mereka mulai
membuat bangunan dan peralatan-peralatan yang berkenaan dengan pemujaan
terhadap kekuatan yang mereka anggap lebih tersebut. Mereka mengenalnya dengan
roh leluhur atau nenek moyang. Menurut mereka jika bangunan, peralatan-peralatan,
serta syarat-syarat yang berkenaan dengan ritual pemujaan tidak dipenuhi, maka
yang terjadi adalah munculnya malapetaka atau musibah yang akan menimpa manusia.
mulai dari gagal panen, penyakit, sampai kematian. Tradisi yang telah terjadi
tersebut dikenal dengan tradisi megalitik.
Tradisi megalitik secara etimologi berasal dari kata
mega yang berarti besar dan lithos yang berarti batu (Soejono,
1984:205 dalam Nur, Muhammad, 2008). Namun, pada kenyataannya tradisi megalitik
tidak hanya hal-hal yang berkenaan dengan batu besar saja. Menurut F.A. Wagner
(1959) megalitik yang selama ini diartikan sebagai batu besar, di beberapa
tempat akan membawa konsep yang keliru, objek batu yang lebih kecil dan
bahan-bahan dari kayupun harus dimasukkan ke dalam klasifikasi megalitik. Bila
benda itu khas dipergunakan untuk tujuan sakral tertentu yakni pemujaan
terhadap nenek moyang (Wagner, Fritz A, 1959 dalam Somba, 1999:73). Kemudian R.
von Heine Geldern juga menyebutkan dalam penelitiannya terhadap budaya
megalitik di Asia Tenggara, mengemukakan suatu pengertian bahwa budaya
megalitik selalu berkaitan dengan pemujaan terhadap arwah leluhur (ancestor
worship) (Heine Geldern, 1945:149 dalm Nur, Muhammad, 2008).
Selain itu, Akin Duli juga berpendapat bahwa
kepercayaan megalitis yaitu suatu kepercayaan yang meyakini adanya pengaruh
kuat dari arwah leluhur demi untuk keberhasilan dan kesejahteraan manusia (Akin
Duli, 2000:11). Maka dari itu, tradisi megalitik merupakan suatu konsep atau sistem
ideologi yang kaitannya dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang yang tentunya
membutuhkan peralatan-peralatan ritual sebagai mediator. Dengan kata lain,
tradisi megalitik merupakan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup
(manusia) dan yang mati (leluhur). Terutama kepercayaan akan adanya pengaruh
kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat (Poesponegoro dan
Notosusanto, 1993:205).
Tradisi megalitik sendiri dimulai ketika masa
neolitik (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:206). Dan hingga sekarang di
beberapa daerah di Indonesia, kepercayaan megalitik masih terus berlangsung dan
bahkan berdampingan dengan agama-agama yang ada seperti islam dan Kristen.
Pulau Nias, Nusa Tenggara, dan Tana Toraja merupakan beberapa daerah yang
dimana tradisi megalitik masih memperlihatkan kelanjutannya (Soejono,
1975:278-283 dalam Bernadeta, 1999:80).
Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tradisi megalitik
masih berlanjut hingga sekarang. Tidak sedikit masyarakat Toraja yang masih
menganut kepercayaan terhadap hubungan antara yang hidup dengan yang mati yaitu
para leluhur mereka. Banyak tinggalan-tinggalan arkeologis yang merupakan
tinggalan tradisi megalitik tersebar di Tana Toraja. Seperti menhir, wadah
kubur kayu, dan liang (tempat penguburan). Tinggalan-tinggalan di Tana Toraja
sendiri merupakan tinggalan yang unik. Terutama sistem maupun tempat
penguburannnya yang berupa tebing yang di lubang dan wadah kubur kayunya yang
unik. semuanya tersebar hampir di seluruh wilayah Tana Toraja. Dengan
pesebarannya yang merata dan memiliki keunikan tersendiri, kasus-kasus mengenai
sistem penguburan, tempat penguburan maupun wadah kuburnya merupakan sesuatu
yang menarik untuk dikaji. Kasus-kasus seperti keletakan dari wadah kubur kayu
Toraja serta bagaimana kaitannya dengan konsep kepercayaan masyarakat Toraja
akan dibahas pada makalah ini.
Wadah Kubur Kayu Toraja (Erong)
Sistem tentang adanya penguburan yang dilakukan pada
orang yang telah meninggal sudah lama dikenal di Indonesia. Sistem penguburan
yang tertua adalah sistem penguburan yang ditemukan oleh Van Heekeren tahun
1931 dan 1935. Ia menyebutkan sistem penguburan tersebut berasal dari zaman
mesolitik. Lalu kemudian berkembang, dan dikenal berbagai macam sistem penguburan.
Antaranya adalah sistem penguburan primer (primary
burial) dan penguburan sekunder (secondary
burial). Soejono sendiri membagi pola penguburan dengan pola I – IV. Pola I
disebut dengan penguburan pertama (primary
burial), meliputi satu atau dua mayat dengan beberapa sikap. Pola II
disebut dengan penguburan kedua (secondary
burial) dalam susunan bermacam-macam. Pola III adalah campuran antara pola
I dan pola II. Pola IV adalah penguburan menggunakan tempayan (Widianto, dkk
1987:16 dalam Bernadeta, 1999:79).
Selain itu terdapat juga sistem
penguburan dengan menggunakan wadah maupun tanpa wadah. Penguburan tanpa wadah
yaitu sistem penguburan dengan meletakan mayat langsung di tempat penguburan,
artinya mayat tidak dimasukan ke dalam wadah terlebih dahulu. Lalu, penguburan
dengan menggunakan wadah yaitu sistem penguburan dengan memasukan mayat kedalam
wadah dahulu sebelum nantinya diletakkan dit tempat penguburan. Sistem
penguburan dengan wadah berkembang pesat pada budaya megalitik. Biasanya
kuburan dengan menggunakan wadah berupa wadah kubur, yaitu kubur tempayan,
kubur bangunan batu, bejana batu, dolmen, dan sarkopagus.
Di Tana Toraja sendiri juga
ditemukan banyak wadah kubur. Namun, uniknya wadah kubur tersebut merupakan
wadah kubur yang tidak terbuat dari batu melainkan dari kayu. wadah kubur kayu
tersebut menurut Soejono merupakan kelanjutan dari tradisi megalitik, karena
selain di Toraja wadah kubur kayu juga ditemukan di daerah lain seperti timur
laut Tanimbar dan Babar (Soejono, 1987:1-2 dalam Bernadeta¸ 1999:79).
Masyarakat Toraja sendiri menyebut
wadah kubur ini dengan nama erong.
Erong ini merupakan sebuah wadah kubur yang terbuat dari kayu yang sangat kuat.
Biasanya kayu yang digunakan pada erong adalah kayu dari pohon nangka. Kayu
tersebut diambil bagian isinya (dibuat berongga) sehingga bentuknya menyerupai lesung
atau perahu. Yang nantinya ruang yang ada ditengah tersebut digunakan untuk
menyimpan jenasah lalu diberi penutup pada bagian atasnya. Wadah kubur kayu
Toraja (erong) dapat dikatakan
sebagai temuan yang unik. Hal itu dapat dilihat dari bentuk-bentuknya.
Bentuk-bentuk yang banyak dijumpai pada erong adalah bentuk perahu, babi,
ayam,kuda, ular, dan kerbau. Selain itu, erong juga kaya akan hiasan yang raya.
Biasanya erong dihiasi dengan hiasan-hiasan yang berupa ukiran-ukiran pahat dan
ukiran tembus. Ukiran-ukiran tersebut bercorak ragam hias khas Toraja yang
berupa motif geometris, flora, dan fauna.ukiran-ukiran tersebut biasanya
terletak pada badan maupun penutup erong.
Keletakan Erong dan Kaitannya
Dengan Kepercayaan Masyarakat Toraja
Setiap daerah pasti memiliki sistem
kepercayaannya sendiri-sendiri yang menjadi ciri khas dari daerah tersebut,
seperti halnya Toraja. Walaupun sudah ada agama seperti Kristen dan islam namun
tidak sedikit masyarakat Toraja yang masih memiliki keyakinan asli mereka yang
sudah ada sejak dulu. kepercayaan tersebut adalah kepercayaan Aluk Todolo atau Alukta (Azis Said, 2004:27). Dan kepercayaan tersebut tampaknya
masih berlangsung hingga sekarang. Dasar dari kepercayaan Aluk Todolo adalah kepercayaan dari arwah leluhur, yaitu
kepercayaan yang selalu berdasarkan kepada hubungan antara yang hidup dan mati,
terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari orang yang telah mati
terhadap keberhasilan dan kesejahteraan orang yang masih hidup. Lalu
sebaliknya, keselamatan arwah di alam arwah (alam Puya) ditentukan oleh perlakuan kerabat, sanak keluarga maupun
orang-orang yang telah ditinggalkannya. Maka dari itu berdasarkan konsep yang
telah dianut tersebut, masyarakat Toraja sangat menghargai orang yang telah
meninggal. Bagi masyarakat Toraja orang yang meninggal harus mendapat perlakuan
sama seperti layaknya orang yang masih hidup. Ketika seseorang meninggal maka
orang tersebut disamakan dengan orang sakit. Layaknya orang yang sakit, jenasah
tersebut diletakkan didalam erong serta tinggal di dalam rumah dan diberikan
makan-makanan kesukaannya dan benda-benda kesukaannya. Kegiatan tersebut
berakhir ketika sudah dilaksanakan upacara penguburan (Rambu Solo’). Setelah dilaksanakan Rambu Solo’ maka jenasah tersebut bisa diletakkan di tempat
penguburan.
Erong
sendiri bagi masyarakat Toraja memiliki makna tersendiri. Erong yang merupakan
penguburan sekunder merupakan wadah kubur kayu yang digunakan oleh masyarakat yang
berasal dari kelas sosial yang tinggi atau bangsawan dan kalangan menengah (tanak bulaan, tanak bassi, tanak karurung).
Hal itu dapat dibuktikan dari model dan keletakan dari erong itu sendiri. Untuk
kalangan bangsawan dan tokoh adat (Tanak Bulaan) erong tersebut diletakkan di
dalam tebing-tebing yang dipahat. Tebing-tebing tersebut merupakntempat
penguburan (Liang). Selain dimasukkan
didalam Liang, erong juga sering
diletakkan dengan cara digantung/disangga dengan bambu pada dinding Liang yang dikenal dengan Liang
Tokek. Semakin sulit dan semakin tinggi tempat erong itu diletakkan maka
dapat disimpulkan bahwa orang tersebut merupakan kalangan dari strata sosial
yang tinggi. Karena semakin sulit dan tinggi tempatnya maka semakain banyak
tenaga manusia yang diperlukan dan ini kaitannya dengan penyediaan binatang
kurban untuk tenaga manusia.
Selain
itu, pada kepercayaan Aluk Todolo dikenal dengan adanya 3 dunia. Yaitu dunia
atas yang dihuni oleh Puang Matua, unsur
kekuatan yang paling tinggi. Dunia tengah yang dihuni Deata-deata, dewa yang ditugaskan untuk menjaga alam beserta isinya
termasuk manusia. Lalu dunia bawah yang dijaga oleh Tomembali Puang. maka dari itu, berdasarkan kepercayaan Aluk Todolo
mayat yang paling tinggi akan berada dekat dengan Puang Matua. Lalu selain keletakkan yang dapat menggambarkan strata
sosial dari “si mati”, ragam hias dan bentuk erong juga dapat menentukan status
sosial. Erong yang memiliki ragam hias yang raya pasti berasal dari strata
sosial yang tinggi. Dan biasaanya juga memiliki bentuk-bentuk tertentu yang,
seperti perahu, kerbau, babi, dan ayam. Secara konseptual, erong merupakan
sebuah kendaraan bagi arwah menuju ke alam arwah (Alam Puya).
Konsep tersebut
didukung dari bentuk erong yang berupa perahu, kerbau, babi, dan ayam. Karena
menurut kosmologi Toraja, hewan seperti kerbau dan babi merupakan kendaraan
pengantar arwah (Bernadeta, 1999:82). Erong dianggapsebagai tinggalan megalitik
karena kaitannya dengan pemujaan terhadap roh leluhur. Karena perlakuan
terhadap orang yang sudah mati (dianggap sebagai roh leluhur) oleh orang Toraja
adalah perlakuan yang tidak jauh berbeda dengan memeprlakukan orang yang masih
hidup. Mereka memberikan segala yang dibutuhkan oleh arwah untuk mencapai alam Puya termasuk benda-benda dan upacara-upacara
yang diunakan sebagai fasilitas bagi si arwah. Dengan anggapan orang yang masih
hidup mendapatkan timbal balik berupa rejeki di dunia dan dijauhkan dari
malapetaka.
Kesimpulan
Tradisi megalitik merupakan sebuah konsep
kepercayaan tentang pemujaan terhadap roh leluhur. Di beberapa daerah di
Indonesia, tradisi megalitik masih berlanjut hingga sekarang. Salah satunya di
Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Salah satu tinggalannya yang unik adalah berupa
wadah kubur kayu. wadah kubur kayu tersebut oleh masyarakat Toraja dikenal
dengan nama Erong. Erong merupakan
wadah kubur yang terbuat dari kayu yang kuat untuk diletakkan jenasah
didalamnya. Biasanya erong dibuat dengan menggunakan kayu nangka. Erong
memiliki bentuk yang beragam, yaitu berbentuk perahu, lesung, kerbau, kuda,
ular, babi, dan ayam. Erong juga dihiasi oleh beragam hiasan ukiran. Biasanya
ukirab tersebut memiliki motif hias khas Toraja, seperti ragam hias geometris,
flora, maupun fauna.
Erong
sendiri digunakan sebagai penanda status sosial suatu golongan si mati. Hal ini
dapat dilihat dari keletakan erong itu sendiri. Erong biasanya diletakkkan
Liang yang merupakan tebing-tebing yang tinggi. Selain itu, ada juga erong yang
digantung atau disangga dengan bamboo pada Liang yang dikenal dengan nama Liang Tokek. Melihat keletakan yang
seperti itu, kaitannya dengan konsep yang dipercaya oleh masyarakat Toraja itu
sendiri. Semakin tinggi dan rumit erong itu diletakkan, dapat dismpulkan bahwa
semakin tinggi pula strata sosialnya. Karena kaitannnya dengan penyediaan
kurban untuk tenaga manusianya. Selain itu, semakin tinggi erong itu diletakkan
maka semakin dekat jenasah dengan Puang
Matua, yang merupakan unsur tertinggi pada kepercayaan Toraja dan letaknya
di dunia atas. Erong juga dipercaya sebagai kendaraan pengantar para arwah
menuju alam Puya (alam arwah). Karena
bentuknya yang berupa perahu, babi, kerbau, dan ayam. Hewan babi, ayam, kerbau,
dan perahu berdasarkan mitologi Toraja merupakan kendaraan pengantar kea lam Puya.
Wadah kubur kayu
(Erong) merupakan tinggalan dari budaya megalitik. Aspek ini terlihat dari
fungsi erong yang merupakan media penyembahan terhadap roh leluhur. Karena bagi
masyarakat Toraja dengan memperlakukan orang mati (roh leluhur) dengan baik
maka akan mendatangkan suatu kebaikan juga bagi orang yang masih hidup
dikemudian hari.
Daftar Pustaka
Azis
Said, Abdul. 2004. Toraja, Simbolisme
Unsur Visual Rumah Tradisional. Yogyakarta: Ombak.
Djoened
Poesponegoro, Marwati; Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1. Jakarta: Balai Pustaka.
Duli,
Akin. 2000. Tinjauan Etnoarkeologi
Bentuk-Bentuk Penguburan di Tana Toraja, dalam Buletin WalennaE No. 5/III
November 2000. Makassar: Balai Arkeologi Makassar.
Somba,
Nani. 1999. Sistem Penguburan Wadah Kayu
di Sulawesi Selatan, dalam Buletin WalennaE No. 3/II Juli 1999. Makassar:
Balai Arkeologi Makassar.
AKW,
Bernadeta. 1999. Bentuk-Bentuk Wadah
Kubur Kayu di Sulawesi Selatan dan Tenggara, dalam Buletin WalennaE No.
3/II Juli 1999. Makassar: Balai Arkeologi Makassar.
Nur, Muhammad. 2008. Refleksi Sistem Religi Pada Peninggalan Megalitik Di Tana Toraja (Studi Etnoarkeologi).
Nur, Muhammad. 2008. Refleksi Sistem Religi Pada Peninggalan Megalitik Di Tana Toraja (Studi Etnoarkeologi).
Hasanuddin.
2010. Arkeologi Toraja, Pola Pesebaran
dan Hubungan FungsionalSitus Pemukiman di Tana Toraja. Makassar: Balai
Arkeologi Makassar.
Sumalyo,
Yulianto. 2001. Kosmologi Dalam
Arsitektur Toraja. Makassar: Jurusan
Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen
Petra.
No comments:
Post a Comment