OLEH: GILANG SWARA SUKMA
Pendahuluan
Dalam menjalani kehidupan, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai
masalah. Terutama masalah dalam memenuhi kebutuhannya. Karena manusia memiliki
kebutuhan yang jumlahnya tidak terbatas. Hal tersebut merupakan hal yang wajar,
karena bahwasanya manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas akan suatu
hal. Manusia akan selalu merasa kurang dan selalu ingin mendapatkan yang lebih
dari apa yang mereka dapatkan. Padahal, segala sesuatu yang tersedia untuk
memenuhi kebutuhan manusia sangat terbatas dan tidaklah banyak jumlahnya.
Namun, semakin bertambahnya kebutuhan manusia dan sadar akan sedikitnya alat
pemuas kebutuhan membuat manusia selalu berpikir untuk menghasilkan sesuatu
yang baru dan menciptakan alat pemuas kebutuhannya sendiri. Hal seperti itulah
yang merupakan faktor selalu timbulnya inovasi-inovasi. Begitu juga yang
terjadi pada manusia prasejarah.
Awalnya mereka hidup secara nomaden dan hanya mengandalkan berburu dan
mengumpulkan makanan yang tersedia di alam saja. Mereka pun semakin lama
menyadari bahwa apa yang menjadi kebutuha mereka pasti tak akan selamanya ada.
Untuk itu mereka bercocok tanam dan mulai mengenal domestikasi hewan. Mereka
pun telah mengenal teknologi pertanian dan mulai mengenal sistem permusiman
karena hewan dan tanaman yang mereka tanam memiliki masa panennya. Kemudian
mereka pun mulai mengenal sistem religi dan kepercayaan terhadap seuatu hal
yang mereka anggap sebagai sosok yang memberikan rahmat dan yang memiliki
kehendak terhadap mereka. Maka dari itu mereka mulai membuat sesuatu untuk
mereka minta dan sembah.
Setelah manusia prasejarah mengenal logam maka semuanya berubah. Disini
terlihat adanya perkembangan teknologi yang cukup besar. Yang tadinya mereka
hanya menggunakan alat yang terbuat dari batu, tulang, kayu dan berbentuk
sederhana, setelah mereka mengenal cara melebur dan mengolah logam mereka mulai
menciptakan alat-alat yang terbuat dari logam hal. Walaupun alat-alat batu
masih digunakan tetapi, mereka perlahan mulai menggunakan alat-alat logam
karena logam sendiri merupakan bahan yang mudah dibentuk menjadi bentuk apapun.
Dikenalnya logam inilah yang merupakan awal munculnya masa perundagian. Mengenai
fungsinya, alat-alat yang terbuat ari logam lebih sering memiliki fungsi yang
bersifat religi dan sosial. Selain itu, terbatasnya bahan logam menjadikan
alat-alat logam merupakan alat yang memiliki prestige yang sangat tinggi.
Alat-alat logam itu adalah kapak corong, bejana, patung, nekara, serta
perhiasan maupun aksesoris lainya (Bintarti, 2008).
Dari banyaknya alat-alat logam yang ditemukan, kebanyakan alat-alat logam
tersebut terbuat dari bahan perunggu. Dari banyaknya alat logam yang terbuat
dari perunggu, nekara sering digunakan sebagai penanda atau patokan suatu
kemajuan pada bidang teknologi di masa perundagian. Mengapa demikian? Dilihat
dari pola pesebarannya, nekara perunggu merupakan hasil budaya materi yang
pesebarannya cukup luas. Hampir di seluruh Asia Tenggara daratan seperti Thailand , Kamboja ,
Myanmar , Laos , dan Malaysia ditemukan nekara perunggu.
Selain itu, di Asia Tenggara Kepulauan seperti di Indonesia nekara perunggu juga
ditemukan. Padahal pertama kali nekara perunggu ditemukan di Dong son, propinsi
Than Hoa , Vietnam . Karena pembuatan alat-alat
perunggu pertama kali dilakukan di Vietnam Utara pada pertengahan millennium
kedeua SM (Bellwood , 2000: 389), kira-kira
dimulai pada tahun 3000-2000 SM (Poesponegoro; Notosusanto, 1993: 243). Dong
son sendiri sering dianggap sebagai cikal bakal munculnya kebudayaan Dong son
yang pesebaranya hampir merata di wilayah Asia Tenggara. Namun, tampaknya
nekara perunggu tidak hanya ditemukan di wilayah Asia Tenggara saja melainkan
di Funan yaitu sebuah propinsi di Cina bagian selatan juga ditemukan nekara
perunggu.
Dari banyaknya nekara-nekara perunggu yang ditemukan, maka sangat penting
untuk dibuatkan klasifikasi mengenai nekara. Pada tahun 1878 A. D Meyer dan W.
Foy mengklasifikasikan nekara menjadi 6 tipe, yaitu tipe M1-M6. Kemudian pada
tahun 1902 klasifikasi yang dilakukan oleh Meyer dan Foy disederhanakan lagi
oleh F. Heger menjadi 4 tipe yakni tipe Heger 1 – Heger IV dan hingga saat ini
yang digunakan untuk mengklasifikasi nekara perunggu adalah klasifikasi nekara
menurut Heger. Di Indonesia kebanyakan nekara-nekara yang ditemukan merupakan
nekara tipe Heger I.
Nekara-nekara tersebut ditemukan di Daerah Danau Kerinci Pekalongan, Banyu
Bening (semarang ),
Bima, Sangiang, Roti, dan Selayar (Bintarti yang dikutip oleh Kompiang Gede,
2002). Selain itu, terdapat dua buah nekara tipe heger IV yang ditemukan di
Banten dan Waleri (Semarang ).
Sama halnya dengan banyaknya tipe dari nekara perunggu, nekara perunggu juga
memiliki fungsi yang berbeda-beda. Nekara yang berada di Asia Tenggara daratan
memiliki fungsi yang berbeda dengan nekara yang ada di Asia Tenggara kepulauan.
Terdapat 2 macam nekara yang merupakan maestro dari nekara-nekara
perunggu yang ditemukan di Indonesia ,
yaitu nekara tipe Heger I dari Pulau Sangiang yang dikenal dengan Makalamau dan nekara tipe Pejeng (Moko).
Nekara tipe Pejeng sendiri merupakan nekara tersbesar di Indonesia .
Nekara tipe Pejeng ditemukan di Daerah Bali, Alor, Adonara, dan Flores (Bintarti yang dikutip oleh Kompiang Gede, 2002). Nekara
Pejeng (Moko) memiliki bentuk yang berbeda dengan nekara Makalamau. Nekara pejeng memiliki bentuk yang lebih ramping
ketimbang nekara Makalamau. Hal ini
menimbulkan adanya anggapan bahwa Nekara Pejeng (Moko) merupakan produk lokal
asli Nusantara. Dari sekilas gambaran tersebut maka diperoleh 2 masalah yang
menarik untuk dibahas. Yaitu Apakah Moko memang merupakan nekara perunggu
produk lokal nusantara? Dan apakah fungsi dari moko berbeda dengan
nekara-nekara pada umumnya?.
Sebelum mengulas akar
permasalahannya lebih dalam, sangat penting untuk mengetahui apa yang dinamakan
dengan nekara?. Nekara adalah suatu benda yang merupakan tinggalan arkeologis
dari Zaman logam (Perundagian). Nekara memiliki bentuk seperti dandang yang
terbaik dan terbuat dari perunggu. Pada umumnya nekara perunggu tersusun atas 3
bagian, yaitu bagian atas, yang terdiri dari bidang pukul yang datar (Tympanum)
dan bagian bahu yang dilengkapi dengan pegangan, bagian tengah atau badan yang
berbentuk silinder, serta bagian bawaha atau kaki yang melebar (Poesponegoro;
Notosusanto, 1993: 246).
Pembuatan nekara sendiri tidak sembarang dibuat begitu saja. Pembuatan
nekara memiliki teknik-teknik tertentu. terdapat 2 teknik yang digunakan untuk
penggarapan logam dalam membuat nekara, yaitu teknik a cire perdue dan teknik cetakan batu (Multiple Moulds). Teknik a
cire perdue adalah teknik pembuatan nekara dengan cetakan yang terbuat dari
tanah liat dan cairan lilin. Teknik ini sering digunakan untuk membuat nekara
atau benda-benda perunggu lain yang berukuran kecil. Sementara itu, teknik
cetakan batu (Multiple Moulds) adalah
teknik pembuatan logam dengan cara dicetak pada cetakan batu. Teknik ini
digunakan untuk menghasilkan benda-benda perunggu berongga yang lebih besar.
Pada penerapannya teknik yang digambarkan diatas tidak dipergunakan benda
secara utuh. Seperti yang terjadi pada pembuatan nekara Moko. Nekara ini dibuat
tidak dengan sekali jadi melainkan dikerjakan secara bertahap menurut
bagian-bagiannya yaitu bagian atas tengah (pinggang) dan Bawah (kaki). Maka
dari itu bagian-bagian tersebut dicetak secara terpisah yang kemudian baru
dihubungkan atau disambung antara yang satu dengan yang lain menjadi sebuah
nekara.
Nekara memiliki beraneka ragam pola hias. Pada umumnya nekara memiliki
pola hias yang bersifat geometris. Namun, biasanya pola geometris itu dipadukan
dengan ragam pola hias lainnya yaitu pola hias seperti bentuk binatang, bentuk
rumah, perahu, gambar perburuan, adegan upacara, dan hiasan-hiasan yang
digambarkan secara naturalistic maupun stiliran (Geldern, 1945 dalam Tanudirjo:
25).
Banyaknya nekara-nekara yang ditemukan di Indoensia memunculkan banyaknya
intepretasi maupun pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ahli. Seperti
Bintarti (2008) yang menyebutkan bahwa nekara-nekara perunggu di Indoenesia
datang melalui aktifitas perdagangan. Namun, I Dewa Kompiang Gede dalam
makalahnya pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi 2002 menyebutkan bahwa Nekara Pejeng
merupakan produk asli Bali. Menurutnya Nekara Pejeng merupakan bukti dari
keberhasilan masyarkat perundagian di Bali
dalam penguasaan teknologi logam (I
Dewa Kompiang Gede, 2002). Alasan I Kompiang Gede sendiri didasarkan oleh
temuan berupa cetakan dari batu yang diduga sebagai cetakan untuk membuat
nekara yang ditemukan di Desa Manuaba (Gianyar), Bali .
Situs Manuaba sendiri diduga kuat merupakan situs perbengkelan alat-alat
logam yang ada di Bali . Hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya 5 buah fragmen cetakan batu. Jika ditilik dari pesebaran
nekara perunggu yang ada di Bali, memang Bali
sendiri bisa digolongkan sebagai daerah yang banyak memiliki temuan berupa
nekara-nekara perunggu (Moko). Semua nekara (moko) khas Bali
merupakan nekara tipe Pejeng. Nekara-nekara tersebut tersebar di Ularan
(Buleleng), Pacung (Buleleng), Desa Ban (Buleleng), Manikliyu (Kintamani,
Bangli), Pejeng (Gianyar), Bebitra (Gianyar), Peguyangan (Denpasar), Basang Be
(Tabanan).
Dari banyaknya nekara (Moko) yang tersebar hampir diseluruh Bali , semakin menguatkan bahwa nekara (moko) memanglah
dibuat disana. Apalagi nekara (Moko) memiliki motif-motif yang menjadi ciri
khas tersendiri. Motif itu adalah berupa pola hias kedok muka (Bagian bahu
nekara) yang dipadukan dengan pola hias geometris. Lalu, pada bidang pukulnya
tedapt pola hias bintang. Namun, yang menjadi ciri khas yaitu pola hias kedok
muka.
Fungsi Nekara (Moko) Di Bali
Seperti halnya bentuknya yang bermacam-macam, nekara juga memiliki fungsi
yang berbeda-beda. Baik nekara yang ada di Bali maupun nekara yang ditemukan di
Luar Bali . Di Birma dan Thailand ,
nekara berfungsi sebagai alat untuk memanggil roh nenek moyang. Pemanggilang
roh nenek moyang tersebut dilakukan dengan cara memukul bidang pukul yang ada
pada nekara. Selain itu, mereka juga menganggap nekara sebagai benda-benda
pemujaaan sehingga diberi persembahan atau sesaji.
Di Laos, nekara dikuburkan di suatu tempat yang dianggap suci lalu
dikeluarkan dan digunakan jika ada upacara-upacara saja. Sedangkan pada suku
bangsa Lamet, nekara dianggap sebagai penanda status sosial. Karena barang
siapa yang memiliki nekara sebanyak-banyaknya maka orang tersebut dianggap
orang yang cukup terhormat. Disini terlihat jelas bahwa nekara berfungsi
sebagai penanda status sosial seseorang. Selain
itu, nekara di Laos
juga berfungsi sebagai bekal kubur. Karena jika seseorang meninggal dunia tanpa
waris maka nekara tersebut akan dihancurkan lalu dijadikan bekal kuburnya. Hal
yang sama juga terjadi di daerah Dongson, Vietnam Utara dan Yunan yaitu sebuah
nekara kecil nerfungsi sebagai nekara kubur (Ardika, 1987 yang dikutip oleh
Kompiang Gede, 2002).
Di Daerah Nusa Tenggara Timur seperti di Alor, Flores, dan Rote nekara
memiliki fungsi yang lebih kompleks. Antara lain berfungsi sebagai sarana
upacara, lambang status sosial, dan sekaligus sebagai mas kawin. Hal ini
dibuktikan pada upacara-upacara kematian, pergantian kepala suku, dan upacara
setelah panen. Nekara tersebut dipukul pada saat upacara berlangsung disertai
dengan sesaji. Sementara itu nekara di Bali
dibedakan menjadi 2 fungsi, yaitu sebagai benda pujaan (sakral), dan sebagai
wadah kubur (Kompiang Gede, 2002).
Fungsi pertama dari nekara yang ada di Bali
yaitu sebagai benda yang disakralkan atau dipuja. Seperti nekara yang ditemukan
di Pejeng (Gianyar, Bali ). Nekara tersebut
tersimpan di tempat yang dianggap sakral yaitu disimpan di Pura Penataran
Sasih. Masyarakat setempat dikenal oleh masyarakat setempat dengan “Bulan
Pejeng”. Nekara tersebut dipecayai sebagai media untuk memohon keselamatan. Hal
ini didasarkan pada cerita rakyat setempat tentang nekara tersebut. Awalnya
nekara “Bulan Pejeng” jatuh dari langit ke bumi (Desa Pejeng) dan menerangi
seluruh wilayah desa tersebut. suatu ketika “Bulan Pejeng” akan dicuri oleh
pencuri namun pencuri itu gagal melakukannya karena situasi Desa Pejeng yang
terang benderang. Selain sebagai media untuk memohon keselamatan, nekara
tersebut juga berfungsi untuk mememohon menurunkan hujan, menolak bala, dan
mengusir kekuatan jahat dari luar. Maka dari itu, nekara Pejeng tetap dijadikan
benda yang memiliki daya magis dan dianggap sakral oleh masyarakat sekitar.
Fungsi yang kedua dari nekara di Bali
adalah sebagai wadah kubur. Nekara yang berfungsi sebagai wadah kubur ini
ditemukan di Desa Manikliyu, Kintamani. Nekara ini memiliki asosiasi dengan
temuan sarkofagus sebagai wadah kubur dan penguburan tanpa wadah yang memiliki
bekal kubur yang sama yaitu berupa spiral perunggu, gelang perunggu, dll.
Penguburan ini merupakan salah satu ciri sistem penguburan yang berkembang pada
masa perundagian. Menuruut I Dewa Kompiang Gede, orang yang dikubur menggunakan
wadah kubur dari sarkofagus, nekara, maupun penguburan tanpa wadah dengan
disertai bekal kuburnya kemungkinan adalah orang yang memegang kekuasaan
tertinggi (kepala suku) dan mempunyai status sosial yang tinggi pada masanya,
sehingga penguburan dilakukan dengan cara seperti itu (Kompiang Gede, 2002).
Kesimpulan
Dari uraian diatas tentang nekara
yang ada di Bali , maka didapatkan beberapa
kesimpulan. Nekara-nekara yang ada di Bali diduga merupakan nekara yang
diproduksi di Bali . Hal ini didasarkan pada
penemuan cetakan batu yang diduga sebagai cetakan yang digunakan untuk membuat
alat-alat logam termasuk nekara. Cetakan tersebut ditemukan di Daerah Manuaba,
kecamatan Tegalallang, kabupaten Gianyar. Manuaba sendiri disinyalir sebagai
situs perbengkelan alat-alat logam di Bali .
Selain ditemukannya cetakan batu tersebut, adanya pola hias Kedok Muka sebagai
pola hias khas nekara di Bali semakin memperkuat dugaan bahwa nekara (moko) di Bali memang diproduksi disana dan tidak didatangkan dari
wilayah lain.
Kesimpulan berikutnya yang didapat
adalah mengenai fungsi nekara di Bali . Nekara
memiliki fungsi yang berbeda-beda. Di Bali, nekara memiliki 2 fungsi yaitu
nekara berfungsi sebagai benda yang disakralkan dan nekara berfungsi sebagai
wadah kubur. Di Daerah Pejeng nekara (moko) dikenal dengan sebutan “Bulan Pejeng”.
Nekara ini dianggap sakral karena diyakini sebagai media memohon keselamatan.
Hal ini didasarkan atas cerita rakyat tentang nekara “Blan Pejeng”. Selain itu
nekara tersebut juga sering digunakan dalam upacara-upacara yang bersifat
sakral seperti upacara memohon hujan, upacara menolak bala, dan dalam upacara
pengusiran roh jahat.
Lalu fungsi yang kedua dari nekara
di Bali adalah sebagai wadah kubur. Seperti
pada nekara yang ditemukan di desa Manikliyu, Kintamani. Nekara ini digunakan
sebagai wadah kubr dan berasosiasi dengan Sarkofagus dan kubur tanpa wadah.
Nekara ini kaitannya sebagai penanda status sosial yang orang yang dikubur.
Daftar Pustaka
Djoened Poesponegoro, Marwati; Notosusanto, Nugroho.
1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid
1. Jakarta :
Balai Pustaka.
Heine Gedern, R. Von. 1945. Prehistoric Research in The Netherlands
Indies . Edited by Pieter Honig and Frans
Verdoorm, Scuence and Scientist in The Netherlands
Indies . Diterjemahkan oleh Daud Aris
Tanudirjo. New York : The Riverside
Press.
Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaya, Edisi Revisi. Jakarta : P.T Gramedia.
Kompiang Gede, I Dewa. 2008. Nekara Perunggu Dalam Kepercayaan Masyarakat Bali ,
pada kumpulan makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PAI) ke- IX Kediri, 2002. Jakarta : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI).
Bintarti, D.D. 2008. dalam artikelnya yang berjudul Nekara Perunggu Dari Yunan Sampai Papua.
Prasetyo, Bagyo; Bintarti, D. D; dkk. 2004. Religi Pada Masyarakat Prasejarah di
Indonesia. Jakarta :
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Proyek Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi.
Nice info. Ijin share di FB.
ReplyDeleteoke silahkan mas.
Delete