OLEH: GILANG SWARA SUKMA
Jika kita membicarakan peristiwa Genocida, maka yang terlintas dipikiran
kebanyakan orang adalah peristiwa pembantaian massal yang dilakukan oleh orang
Nazi terhadap enam juta etnis Yahudi di Jerman maupun peristiwa pembantaian
yang berlangsung di Semenanjung Balkan, tepatnya pembantaian yang dilakukan
oleh orang-orang Yugoslavia terhadap etnis muslim di Bosnia-Herzigovenia.
Berdasarkan segelintir peristiwa yang disebutkan tadi, dapat diketahui bahwa
peristiwa tersebut merupakan pertikaian antar etnis. Di Indonesia sendiri juga
pernah terjadi peristiwa Genocida, yaitu peristiwa pembantaian etnis Cina 1740
(Chinezenmoord). Tidak banyak
masyarakat yang mengetahui tentang peristiwa tersebut.
Peristiwa pembantaian tersebut
merupakan pertikaian yang bersifat politik. Berbagai sumber mengatakan bahwa peristiwa
tersebut disebabkan oleh karena VOC sebagai perusahaan mulai kalah bersaing
dalam dunia perdagangan. VOC kalah bersaing dengan EIC usaha dagang milik
Inggris yang saat itu bermarkas di India . Lalu, hal itu memunculkan
ketakutan akan kebangkrutan yang dialami oleh VOC jika tidak melakukan sebuah
manuver. Kebetulan pada saat itu etnis Cina juga sedikit mulai menguasai
perdagangan di Nusantara. Hal itu semakin membuat VOC kalang kabut dan mulai
membuat aturan-aturan yang dianggap menguntungkan VOC guna mengganjal lawan
bisnisnya. Mulai dari melakukan pungutan-pungutan liar terhadap pedagang etnis
Cina sampai memberlakukan adanya program “Surat Ijin Tinggal” bagi para
pendatang. hal itu bertujuan untuk menertibkan para pendatang yang illegal.
Bagi kaum pendatang yang tidak memiliki surat
ijin tinggal maka akan didenda dan bahkan dipenjara. Aturan tersebut dibuat
oleh VOC pada masa Gubernur Jendral Adrian
Valckenier (1737-1741).
Pada 25 Juli 1740 pemerintah VOC
semakin mempertegas aturan tersebut dengan mengeluarkan resolusi yang berisi
bahwa penguasa VOC memiliki hak untuk menangkap dan memenjarakan seluruh warga
Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal di wilayah Batavia. Semakin ketatnya
peraturan dan pungutan liar yang terus terjadi dirasa sangat tidak adil bagi
warga Tionghoa yang akhirnya mulai terjadi kerusuhan. Puncaknya terjadi pada 7
Oktober 1740, dimana lebih dari 500 warga Tionghoa dari berbagai penjuru
berkumpul untuk melakukan penyerangan ke benteng Batavia setelah sebelumnya menghancurkan
pos-pos penjagaan VOC di Jatinegara, Tangerang, dan Tanah Abang secara
bersamaan. Namun, para warga Tionghoa tersebut gagal memasuki daerah Benteng VOC
karena mereka mendapat hadangan dari tentara VOC. Pada 9 Oktober 740 dibantu
dengan pasukan artileri barat VOC melakukan pengejaran terhadap pelaku
penyerbuan. Hampir seluruh rumah dan toko digledah dan dibakar, termasuk rumah
kapten Tionghoa Nie Hoe Kong yang
dianggap sebagai otak kerusuhan.
Pada malam harinya prajurit VOC masih
terus melakukan penyisiran. mereka tak segan-segan untuk membunuh dan memperkosa
wanita-wanita Cina jika dirasa tidak kooperatif. Pembantaian pun menjadi sangat
sadis ketika para kaum pribimi yang diprovokasi ikut serta dalam oprasi
tersebut. mereka dijanjikan mendapat sebesar 2 dukat per kepala etnis Tionghoa
yang berhasil dipancung. Pada 10 Oktober 1740 Gubernur Jendral Valckenier
memerintahkan agar seluruh warga Tionghoa tidak terkecuali termasuk yang ada di
rumah sakit dikumpulkan di depan Stadhuis atau Gedung Balaikota (sekarang Museum Fatahillah) untuk menjalani
hukuman gantung. Tercatat 7500 jiwa dibantai pada peristiwa ini.
Sepertinya diskriminasi yang
dilakukan terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti sampai disitu, setelah tahun
1740 VOC mengeluarkan kebijakan yang disebut passenstelsel, yakni keharusan bagi setiap orang China untuk
mempunyai surat jalan khusus apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat
dia tinggal. Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan wijkenstelsel. Peraturan ini melarang
orang China untuk tinggal di
tengah kota dan
mengharuskan mereka membangun "gettho-gettho" berupa pecinan sebagai
tempat tinggal. Hal ini dilakukan agar pemerintah VOC mudah melakukan kontrol
dan pengawasan terhadap warga Tionghoa.
No comments:
Post a Comment