Pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit sekitar abad ke XV, merupakan masa dimana mulai redupnya pengaruh Hindu dan Budha di Nusantara sekaligus merupakan masa awal masuknya pengaruh islam di Nusantara. Tanda-tanda kebangkitan pengaruh islam di Nusantara ditandai dengan berdirinya kerajaan Pasai sebagai kerajaan islam pertama di Nusantara. Kemudian disusul dengan munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak islam lainnya seperti Kerajaan Demak, Cirebon, Madura, Gowa-Tallo, hingga ke daerah Maluku yaitu Kerajaan Ternate dan Tidore. Sekilas memang terlihat bahwa kebudayaan Islam cepat berkembang di Nusantara. Namun, hal tersebut tidak akan terjadi apabila budaya islam yang dikenalkan pada masyarakat waktu itu tidak dicampur atau mengalami akulturasi budaya dengan kebudayaan yang berkembang sebelumnya, yaitu kebudayaan Hindu-Budha. Sehingga perlahan tapi pasti islam dapat diterima oleh masyarakat Nusantara pada saat itu.
Seiring dengan berkembangnya agama islam beserta dengan budaya-budayanya, lama kelamaan masyarakat yang awalnya menggunakan candi sebagai tempat ibadah mereka mulai meninggalkannya. Mereka yang telah memeluk islam mulai mendirikan tempat-tempat ibadah yang baru yaitu berupa masjid. Memang ada beberapa kelompok “pelarian” yang tetap menggunakan budaya Hindu dan Budha sebagai identitasnya. Seperti kaum-kaum pelarian yang ada di gunung penanggungan dan gunung lawu dengan Candi Sukuh-nya. Namun, kaum-kaum pelarian tersebut tidak dapat dikatakan mereka memeluk agama Hindu maupun Budha karena konsep ibadah mereka sebenarnya sudah berbeda. Kelompok-kelompok “pelarian” tersebut dikenal dengan kaum resi.
Selain rumah ibadah yang berbeda, islam pun juga memiliki tata cara sendiri dalam melakukan penguburan yaitu dengan cara dimakamkan. Adanya konsep memakamkan setiap orang yang meninggal dunia, mengakibatkan banyak munculnya tempat-tempat pemakaman. Hampir setiap kerajaan memiliki pemakaman. Akan tetapi, pada waktu itu hanya raja maupun keturunan raja yang memiliki tempat pemakaman. Seperti makam raja-raja Mataram Islam di Imogiri dan Kotagede serta Makam Asta Tinggi (Makam raja-raja Madura), dll. Umumnya makam-makam raja yang ada di Jawa memiliki ciri khas yaitu pada bentuk gapuranya yaitu ada 2 macam bentuk (Bentar dan Paduraksa) serta memiliki cungkup dengan bentuk tajug. Berbeda dengan makam raja-raja yang ada di Jawa, makam raja-raja di Madura memiliki keunikan tersendiri terutama dari segi arsitekturnya. Asta Tinggi sebagai makam raja-raja Sumenep memiliki gaya arsitektur yang kental dengan budaya kolonial.
Asta Tinggi, Wujud Adanya Percampuran dengan Budaya Asing
Asta Tinggi merupakan kompleks pemakaman raja-raja yang terletak di barat daya kawasan kota Sumenep, Madura. Sesuai dengan namanya yaitu Asta (Pemakaman) dan Tinggi (tempat yang tinggi), Asta Tinggi memang terletak di dataran yang cukup tinggi. Selain itu, Asta Tinggi juga dikenal dengan sebutan Asta Raje (Asta Pangradje) yang berarti tempat pemakaman para “Pembesar kerajaan”. Asta Tinggi dibangun sekitar abad ke XVII. Yang dimakamkan di Asta Tinggi merupakan raja-raja serta kerabat raja baik itu dari kerajaan Sumenep maupun dari kerajaan Madura. Terdapat raja-raja yang terkenal dari Sumenep dimakamkan di Asta Tinggi. Seperti, Pangeran Jimad, Bindara Saod, dan Pangeran Panji Pulang Jiwa, Panembahan Semolo, dan Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat.
Komplek pemakaman Asta Tinggi dibagi menjadi 7 kawasan atau bagian. Bagian yang pertama adalah kawasan Asta Induk. Kawasan ini terdiri dari Kubah Sultan Abdurrahman Pakunataningrat dan Kubah Bendoro Moh. Saod. Kawasan berikutnya adalah kawasan Makam K. Saonggaling. Kawasan yang ketiga yaitu kawasan Makam Patih Mangun. Selanjutnya adalah Kawasan Makam Kanjeng Kai / Raden Adipati Suroadimenggolo Bupati Semarang (mertua Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I). Lalu kawasan yang kelima adalah kawasan makam Raden Adipati Pringgoloyo/Moh. Saleh. Kawasan yang keenam dan ketujuh adalah kawasan Makam Raden Tjakra Sudibyo, Patih Pensiun Sumenep dan kawasan Makam Raden Wongsokoesomo.
Berbeda dengan komplek-komplek makam raja-raja jawa pada umumnya, komplek pemakaman Asta Tinggi memiliki keunikan tersendiri. Keunikan ini terlihat dari segi arsitekturalnya. Pada makam raja-raja Jawa pada umumnya, gapura yang merupakan salah satu komponen yang terdapat pada makam biasanya berupa paduraksa dan bentar. Namun, berbeda dengan gapura yang ada di Asta Tinggi. Walaupun masih menggunakan konsep paduraksa, tetapi memiliki perbedaan dari gaya arsitekturalnya yaitu bergaya kolonial atau Eropa. Hal ini terlihat dari adanya hiasan-hiasan yang berupa ornamen-ornamen hias bergaya eropa seperti memiliki pillar yang berbentuk ionic dan memiliki Architrave sebagai hiasan diatas pillar. Selain itu, terdapat pula hiasan-hiasan yang berbentuk seperti piala. Padahal jika dilihat, bangunan-bangunan asli nusantara tidak memiliki hiasan seperti itu. Terlihat dengan jelas bahwa telah ada pengaruh budaya kolonial.
Di dalam buku "Tjareta Negraha Song-genep" dijelaskan mengapa budaya kolonial sangat kental mempengaruhi makam Asta Tinggi dan kraton Sumenep. Awalnya VOC datang di Sumenep pada saat pemerintahan Raden Bugan (1648-1672), sahabat Raden Trunojoyo. Setelah perjuangan Trunojoyo dapat dipatahkan, maka Pamekasan dan Sumenep kemudian takluk dibawah kekuasaan VOC. Bahkan sepeninggal Raden Bugan, VOC ikut campur dalam pemerintahan Sumenep. Kemu-dian membawa Raden Sudarmo (putra tunggal Raden Bugan yang masih remaja) Batavia. Pada tahun 1704 Pangeran Cakraningrat meninggal dan di Mataram terjadi peristiwa penandatanganan antara Pangeran Puger dengan VOC, bahwa VOC mengakui kekuasaan Pangeran Puger yang saat itu sedang berselisih dengan Sunan Mas (Amangkurat III).
Sebaliknya, Pangeran Puger berkewajiban menyerahkan sebagian dari tanah Jawa dan Madura bagian Timur kepada VOC. Dengan demikian untuk yang kedua kalinya Sumenep jatuh ke tangan VOC, pada saat itu merupakan masa pemerintahan Panembahan Romo (Cokronegoro II). Pada masa pemerintahan Alza (1744-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin Kyai Lesap dari Bangkalan. Pada saat itu Kyai Lesap menggalang kekuatan yang ada pada rakyat yang sudah benci kepada VOC. Ia berjuang dari Timur dengan menguasai Keraton Sumenep. Kyai Lesap memerintah Sumenep hanya dalam waktu 1 tahun yaitu tahun 1749-1750. Pemerintahan berikutnya dipegang oleh Raden Ayu Tirtonegoro (1750-1762) keturunan dari Raden Bugan yang kemudian menikah dengan seorang ulama bernama Bendoro Saud. Bendoro Saud ini kemudian oleh VOC dinobatkan sebagai Bupati Sumenep. Asirudin putra Bendoro Saud dan putra angkat dari Ratu Tirtonegoro, atas permintaan kedua orangtuanya, lalu ia diangkat oleh VOC menjadi Bupati Sumenep menggantikan ayahnya. Ia memerintah pada tahun 1762-1811 bergelar Tumenggung Ario Notokusumo yang kemudian dikenal dengan sebutan Panembahan Sumolo. Dialah yang mendirikan Keraton Sumenep pada tahun 1781.
Keraton Pejagalan (R. Ayu Tirtonegoro), Keraton Sumenep, Masjid Agung Sumenep dan Makam Asta Tinggi, dibangun pada kurun Sumenep dikuasai Kolonial Belanda. Jadi tidak mustahil kalau pada bangunan-bangunan tersebut akan ditemukan konsepsi arsitektur Kolonial atau pengaruh langgam arsitektur Belanda (Eropa). Selain itu, Pada saat itu pula Keraton Sumenep berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda. Kondisi ini sudah tentu secara politik menunjukkan bahwa adanya dominasi peran pemerintah Kolonial dalam setiap sisi kehidupan pemerintahan, baik sistem pemerintahan, lambang-lambang kerajaan, termasuk dalam bentuk arsitektur bangunan yang menunjukkan adanya pengaruh kuat budaya kolonial (Barat) ( Nunik, 2007 : 74-75 ). Disamping itu, faktor letak Sumenep yang dekat dengan laut juga memudahkan budaya asing masuk ke daerah itu. Hal ini dikarenakan karakter dari daerah yang merupakan daerah maritime, yaitu masyarakat memiliki karakter yang terbuka. Bahkan budaya asing yang dianggap sesuai dengan karakter daerah setempat akan dianggap sebagai budaya miliknya. Maka akibatnya dapat diamati bahwa pengaruh budaya luar menjadi bagian dari budaya lokal yang ada.
KESIMPULAN
Dari sekelumit uraian diatas, maka dapat ditarik suatu keismpulan. Sumenep yang merupakan sebuah kerajaan Islam telah mengalami akulturasi dengan budaya kolonial (eropa). Penyebabnya sendiri tidak lain karena pada saat itu abad ke XVIII yang merupakan awal berdirinya kerajaan Sumenep telah berada dibawah kendali pemerintahan kolonial yang pada saat itu di kuasai oleh VOC. Secara tidak langsung bukan hanya sistem pemerintahan yang dipengaruhi oleh pemerintahan kolonial, mereka juga telah menyisipkan budaya kolonial berupa gaya seni bangunan. Hal ini terlihat dari bentuk makam raja Asta Tinggi serta kraton Sumenep yang mengadopsi gaya bangunan dari Negara lain.
Selain itu, Sumenep yang terletak di dekat laut merupakan daerah yang bersifat maritim. Sehingga masyarakat sangat terbuka menerima budaya asing. Bahkan budaya asing yang sesuai karakter daerah setempat dapat diterima dengan mudah dan dijadikan unsur atau bagian dari budaya setempat.
OLEH: GILANG SWARA SUKMA
DAFTAR PUSTAKA
Muwandhani, Nunuk Giari. 2007. Arsitektur Interior Keraton Sumenep Sebagai Wujud Komukasi dan Akulturasi Budaya Madura, Cina dan Belanda. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya
Nurzaman, Asep. 22 Agustus 2010. Rubrik arsitektur, Masjid Agung Keraton Sumenep Arsitektur Peradaban Bangsa Dunia. Republika
No comments:
Post a Comment